Minggu, 26 Juni 2011

Metode Penyiksaan Oleh Institusi Polri-TNI Terungkap

Hasil penelitian Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terkait tindak kekerasan oleh pihak kepolisian dan TNI Angkatan Darat dari Juli 2010 sampai Juni 2011 ini tercatat 30 pola kasus penyiksaan oleh pihak kepolisian dan 18 pola penyiksaan pada TNI Angkatan Darat. Data tersebut didapatkan berdasarkan pengakuan korban maupun hasil peliputan media yang dikumpulkan peneliti KontraS.

“Kami meyakini, jumlah tindak penyiksaan masih jauh lebih banyak terjadi. Hal ini karena sulitnya melakukan pemantauan terhadap tindakan penyiksaan, karena umumnya terjadi di dalam kantor institusi TNI dan Polri,” ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar, di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Sabtu (25/6/2011).
Adapun pola penyiksaan pada institusi Polri yang dicatat KontraS sebagai berikut:

1. Ada 4 kasus pemukulan secara berulang kali saat melakukan pemeriksaan.

2. Orang yang menjalani pemeriksaan juga direndam dalam air. KontraS mencatat ini sebanyak 7 kasus.

3. Berbagai bentuk penyiksaan dari penangkapan saat perjalanan dan pemeriksaan. Pola penyiksaan dilakukan berupa pemukulan berulang-ulang, mulut dipukul dengan kunci Inggris, telinga disundut api rokok, mata ditutup dan terus dipukul.
Tak hanya itu, korban juga dijepit dengan ikat pinggang dan leher diikat dengan seutas tali kemudian diseret dengan menarik tali tersebut. Untuk pola ini, KontraS mencatat terdapat dua kasus.

4. KontraS merujuk satu perisiwa pada pola ke tiga ini, yaitu saat penangkapan orang-orang yang diduga pelaku perampokan di Bank CIMB Niaga. Dalam pemeriksaan, kaki korban (yang diduga pelaku perampokan) ditembak. Tak hanya itu, korban juga dilempar ke dalam mobil dan diinjak-injak oleh sejumlah oknum polisi.

5. Pola penyiksaan keempat, KontraS mencatat, Polri melakukan penyiksaan sebanyak 15 kali. Terkait peristiwa gerakan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) yang dimulai dari 1 Agustus sampai 10 Agustus 2010 korban mengalami penyiksaan seperti dipukul berulang-ulang, ditendang dengan sepatu lars, kaki dijepit di kaki meja, ditampar, dan terakhir korban penyiksaan dipaksa berciuman dengan korban lainnya.

6. Terdapat satu kasus terungkap, bahwa korban ditahan dan disetrum oleh petugas polisi.
“Pada TNI terdapat 18 kasus, terdapat dua penyiksaan hingga mengakibat kematian pada korban sebanyak dua kasus. Sedangkan 16 kasus, dimana penyiksaan dalam berbagai bentuk guna mendapatkan pengakuan korban (yang dituduh sebagai pelaku,” papar Haris.

Berdasarkan catatan KontraS itu, lanjut Haris, kasus paling dominan terjadi penyiksaan adalah kasus Papua, yaitu saat penyisiran anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Saat itu, dalam video penyiksaan terhadap dua orang warga Papua direkam selama 10 menit dan disebar di situs Youtube pada Oktober 2010. Dari video itu terlihat gambar orang yang melakukan penyiksaan memakai seragam militer.

Selain itu, juga kasus penyiksaan yang berujung pada kematian Charles Mali (24). Ia diduga meninggal setelah mengalami penyiksaan bersama lima temannya di Markas Yonif 744/Satya Yudha Bhakti Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Atambua, NTT pada Maret 2011.

Ketika ditanya mengenai bentuk penyiksaan yang seolah dilegalkan oleh Polri dan TNI ini, Haris menyatakan hal itu terjadi karena kurangnya pengawasan pimpinan tinggi kedua lembaga tersebut.
“Karena mekanisme koreksi di dalam insitusi keduanya masih lemah, lalu pimpinan kurang memberikan kontrol, makanya budaya kekerasan terus terpelihara,” tukas Haris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post